Memastikan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia (Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Timur): Peluang dan Tantangan Keterlibatan Perempuan dalam Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT)

Penulis: Julia Theresya, Policy Advocacy Officer

Perempuan dan energi, masih menjadi stereotipe yang melekat dalam masyarakat bahwa perempuan hanya berperan sebagai pengguna energi untuk kebutuhan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan sebagainya. Sementara itu, laki-laki cenderung mendominasi pekerjaan di sektor penghasil energi. Sejak tahun 2000, isu kesetaraan antara perempuan dan laki-laki telah menjadi aspek penting dalam proses pembangunan nasional, ditandai dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Persoalan gender dan energi ini kemudian menjadi prioritas di tingkat global yang termuat di dalam Sustainable Development Goals (SDGs): Goals 5. Gender equality, Goals 7. Affordable and Clean Energy, dan Goals 9. Industry, Innovation, and Infrastructure, yang berarti bahwa kesetaraan gender merupakan tujuan lintas sektoral yang harus menjadi fokus utama dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam pengembangan energi terbarukan dan akses terhadap clean energy. Upaya ini yang juga sedang didorong oleh pemerintah dan berbagai organisasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam proses transisi energi, beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).

Provinsi NTT saat ini masih menjadi provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah se-Indonesia, dengan rasio elektrifikasi sebesar 92,33% di tahun 2022. Persentase ini tentunya sudah mengalami peningkatan yang signifikan, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pengembangan EBT juga terus dilakukan guna memenuhi target di tahun 2025, yaitu bauran EBT 24% dan rasio elektrifikasi hingga 100% (Pedoman Rencana Umum Energi Daerah Provinsi NTT 2019-2050). Tentu saja, perempuan di wilayah NTT merasakan dampak positif dari peningkatan rasio elektrifikasi tersebut. Jika dilihat dari lingkup tanggung jawabnya yang besar untuk urusan domestik, sebagai pengguna energi dominan, setidaknya mereka sudah dapat mengakses energi lebih mudah untuk berbagai aktivitas meskipun belum 24 jam dalam sehari.

Menariknya, keterlibatan perempuan di sektor energi di NTT tidak hanya berperan sebagai konsumen energi, namun juga sebagai energy professional atau energy entrepreneur. Dalam beberapa proyek pengembangan EBT yang ditemukan di lapangan, perempuan didorong untuk mampu melakukan pekerjaan sebagai operator atau teknisi listrik untuk instalasi dan pemeliharaan di desa-desa. Bahkan dalam beberapa pelatihan operator listrik, sebagian kecil peserta perempuan yang berpartisipasi mampu mendapatkan nilai atau penghargaan lebih tinggi dibandingkan peserta laki-laki. Cerita lainnya di Alor, para perempuan juga sangat cakap dalam membuat dan menjual lampu untuk penerangan rumah-rumah di desa mereka. Temuan di Alor ini memperlihatkan bahwa perempuan mampu memanfaatkan energi menjadi produk bernilai ekonomi.

Meskipun begitu, lebih banyak tantangan yang dihadapi untuk mendorong partisipasi perempuan dalam transisi energi di NTT. Pertama, pembukaan ruang atau kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk terlibat di sektor publik termasuk sektor energi belum setara. Misal, untuk berperan atau berpartisipasi dalam mengambil keputusan terkait kebijakan energi dari tingkat desa, perempuan jarang dilibatkan karena konflik waktu mereka dengan kegiatan domestik. Untuk peluang pekerjaan, perempuan di NTT juga banyak dibatasi dengan persyaratan pendidikan untuk bekerja di pemerintahan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), atau unit-unit usaha desa lainnya. Pendidikan perempuan di desa di NTT cenderung rendah (antara SD hingga SMP) karena faktor jarak ke sekolah, biaya sekolah, dan faktor lain yang tidak mendukung, sedangkan rata-rata persyaratan pendidikan untuk bekerja di sektor publik tersebut adalah SMA/sederajat.

Kedua, ketertarikan dan persoalan izin bagi perempuan bekerja di bidang energi atau kelistrikan masih rendah. Hal ini salah satunya disebabkan karena perempuan tidak terbiasa dengan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan fisik dan terlalu teknis. Sejak kecil perempuan tidak diasuh untuk terbiasa dengan pekerjaan ‘berat’ dan ‘berbahaya’, seperti memanjat, mengurus peralatan listrik, dan sebagainya, sehingga banyak juga yang terbentur oleh faktor perizinan orang tua atau suami karena persoalan keamanan. Padahal di sektor energi sendiri pekerjaan yang tersedia bukan hanya sebagai operator atau teknisi, misal perempuan dianggap lebih baik dalam bekerja di ranah administrasi, keuangan, pemelihara unit dan peralatan, dan sebagainya. Keberadaan perempuan bisa sangat membantu misalnya dalam kasus perawatan panel-panel surya yang kotor, penjaga di titik-titik pengambilan air, dan lain-lain.

Ketiga, adanya masalah koordinasi lintas sektoral dan kewenangan dalam urusan pengembangan EBT di wilayah NTT. Permasalahan ini seringkali ditemukan kesulitan dalam implementasi proyek-proyek pengembangan EBT di lapangan, khususnya untuk berkoordinasi dengan pemerintah terkait pengarusutamaan gender. Meskipun sudah ada Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi NTT No. 5 Tahun 2022 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pelaksanaan Pembangunan di Daerah, namun sampai saat ini untuk menerjemahkannya ke dalam program-program sampai ke desa masih sulit dilakukan dan terbentur oleh masalah ketersediaan anggaran. Titik masuk yang dapat dilakukan oleh organisasi adalah dengan membantu memberikan pemahaman dan pelatihan untuk sumber daya manusia di pemerintahan, seperti kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), untuk membuat peta jalan isu energi dikaitkan dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) dinas-dinas tersebut dalam pemberdayaan perempuan dan masyarakat.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana persoalan keterlibatan perempuan ini, bersama dengan tantangan dan peluangnya dapat diterjemahkan ke dalam setiap peta jalan transisi energi di wilayah NTT, bahkan di tingkat nasional? Temuan-temuan ini setidaknya dapat menjadi gambaran bagaimana melibatkan perspektif gender dalam setiap proses konsultasi pembangunan di daerah, dalam setiap proses pengambilan keputusan kebijakan, serta memberikan akses yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam setiap implementasinya. Bagaimanapun, kedekatan perempuan dengan energi dalam kesehariannya dapat menjadi potensi besar dan ujung tombak untuk mewujudkan transisi energi berkeadilan menuju target net zero emission (NZE) Indonesia di tahun 2060.


Rujukan

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Pedoman Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2019-2050.

Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pelaksanaan Pembangunan di Daerah.

Sustainable Development Goals (SDGs). https://sdgs.un.org/.

Bagikan :