Memastikan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia: Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Nusa Tenggara Timur (NTT) Saat ini beserta Tantangannya

Penulis: Maria Putri Adianti, Staff Komunikasi Junior, Julia Theresya, Policy Advocacy Officer, dan Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan

IPP PLTS Kupang 5 MWp, Kupang, Nusa Tenggara Timur

Indonesia di dalam upayanya untuk mencapai kondisi Net Zero Emission (NZE) di sektor energi, merencanakan untuk melakukan program dedieselisasi, dimana Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang ada, direncanakan untuk dikonversi dengan teknologi berbasis ramah lingkungan (ESDM, 2023). Pelaksanaan program ini tentunya akan memberikan dampak kepada wilayah-wilayah di Indonesia yang bergantung pada diesel dalam penyediaan listriknya. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil di Indonesia, dimana 90% pembangkit listrik di NTT bersumber dari energi fosil. Sebesar 43,9% dari total 534,40 MW pembangkit di NTT, merupakan pembangkit listrik berbasis diesel (Gatrik, 2022).

Oleh karena itu, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Yayasan Pikul melakukan diskusi terpumpun pada tanggal 2 Agustus 2023, sebagai tindak lanjut dari diskusi yang telah dilakukan pada 12-13 Juli 2023 yang lalu. Diskusi ini merupakan bagian dari studi terkait kesiapan Provinsi NTT untuk melakukan transisi energi yang berkeadilan, utamanya dari sisi pengembangan energi baru terbarukan (EBT).      

Diskusi ini memunculkan beberapa hal penting terkait dengan transisi energi berkeadilan di NTT.  Provinsi NTT telah memiliki visi dan misi yang terfokus pada pembangunan pembangkit listrik demi mewujudkan penerangan menyeluruh di desa-desa. Untuk pemenuhan akses listrik sesuai dengan visi dan misi tersebut, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah antara lain dengan pelaksanaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) seperti, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE); Biogas; PLTS Atap; Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH); Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS); serta PLTS Off Grid. Meski demikian, terdapat juga tantangan yang dihadapi dalam proses pengembangan EBT tersebut seperti akses ke wilayah pulau-pulau kecil yang tidak terjangkau dan keterbatasan biaya.

Potensi Pengembangan EBT di NTT Saat ini    

     Provinsi NTT memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar untuk mendukung visi misinya dalam mencapai rasio elektrifikasi 100% di tahun 2025. Total potensi energi terbarukan di NTT adalah sebesar 23.812,5 MW yang bersumber dari panas bumi, air, minihidro dan mikrohidro, bioenergi, surya, angin, serta laut (RUED-P NTT 2019-2050). Saat ini, penggunaan energi terbarukan di NTT hanya sebesar 92% dengan wilayah pemakaian paling kecil terdapat di Pulau Sumba sebesar 85,03% (ESDM NTT, 2023).

          Berbagai upaya pengembangan PLT berbasis EBT juga sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi seperti, pertama yaitu pembangunan PLTS dan penyediaan LTSHE atau lampu sehen. Lampu tersebut merupakan lampu portabel, sehingga dapat dilepas-pasang dan diisi ulang. Pada tahun 2022, penyediaan LTSHE ini difokuskan untuk dusun-dusun yang belum berlistrik. Kedua adalah pengembangan biogas untuk masyarakat. Hingga saat ini, baru terdapat 9 unit pemanfaatan biogas yang tersebar di 3 kabupaten di NTT (ESDM NTT, 2023).

Ketiga yaitu pembangunan PLTS Atap yang ditujukan untuk memanfaatkan potensi energi surya yang sangat besar di wilayah Kupang. Pembangunan PLTS Atap ini didukung oleh Surat Edaran Gubernur NTT Nomor BU.671/03/ESDM/2022 tentang Pemanfaatan PLTS Atap di Provinsi NTT yang didasarkan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Permen ESDM tersebut memuat ketentuan bahwa PLTS Atap dapat digunakan 100%, dimana sisa listrik yang tidak terpakai dapat disimpan, untuk melakukan ekspor dan impor listrik. Hingga saat ini, PLTS Atap yang dibangun masih terbatas pada tempat-tempat publik seperti gereja dan sekolah.

Keempat, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). PLTMH di daerah Wairara, misalnya, dianggap telah berperan besar dalam penyediaan listrik  selama satu tahun terakhir.           

Kelima, dibangunnya Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS). Program ini muncul dari Pokok-pokok Pikiran (Pokir) dari DPR Pusat yang dikonsentrasikan untuk urusan pembangunan lampu jalan. Pembangunan PJUTS ini mencakup enam kabupaten yaitu: Sumba Timur, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Belu, dan Malaka. Berikutnya yang sedang berproses saat ini adalah pembangunan PLTS terpusat off grid yang terfokus di Pulau Sumba. Pembangunan ini dilaksanakan untuk mengejar rasio elektrifikasi di Pulau Sumba yang terbilang masih kecil dibandingkan wilayah NTT lainnya, yaitu hanya sekitar 85,11% (ESDM NTT, 2023).

Tantangan yang Dihadapi dalam Pengembangan EBT di NTT

Sampai saat ini, pembangunan PLT berbasis EBT masih menjadi kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi. Meskipun demikian, masih terdapat tantangan yang dihadapi di lapangan, diantaranya yaitu kondisi geografis yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang berpenghuni, cukup sulit. Pemerintah Kabupaten masih kesulitan untuk membantu menyediakan listrik di pulau-pulau kecil yang berpenghuni, misalnya Pulau Kera.

Tantangan berikutnya adalah persoalan pembiayaan.  Saat ini, mekanisme pembiayaan energi baru terbarukan (EBT) yang tersedia di NTT masih terbilang sedikit dikarenakan masih bergantung pada ketersediaan dana dari pemerintah. Hal ini berpengaruh pada pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan off-grid, seperti PLTS yang membutuhkan biaya sangat besar. Untuk menyiasati keterbatasan biaya, pembangunan tersebut akan dilakukan secara bertahap.

————————————–

Bagikan :