Pendanaan iklim merupakan elemen yang sangat penting untuk memungkinkan negara-negara berkembang dalam melakukan aksi iklimnya yang sering kali tertuang di dalam Nationally Determined Contribution (NDC) serta National Adaptation Plan (NAP) yang disusun. Sesuai dengan Decision 1/CP.21 paragraf 53, para Pihak dari Konvensi menyepakati untuk menentukan sebuah target kuantitatif kolektif yang baru atau new collective quantified goal (NCQG), di mana USD 100 miliar menjadi angka minimum dan bukan lagi menjadi target. Selain itu, paragraf yang sama juga menyatakan bahwa NCQG harus ditentukan berdasarkan kebutuhan dan prioritas dari negara-negara berkembang.
Walau demikian, menentukan kebutuhan dan prioritas dari negara berkembang tentu saja tidak mudah. Pada proses penyusunan laporan kedua terkait dengan kebutuhan negara-negara berkembang untuk melakukan implementasi Konvensi dan Persetujuan Paris, ditemukan bahwa di dalam beberapa laporan yang ada, tidak seluruh negara berkembang mencatatkan kebutuhan pendanaan iklim yang diperlukan untuk melakukan implementasi NDC, contohnya. Sedangkan target kuantitatif pendanaan iklim yang baru, harus dapat menjawab kebutuhan dan prioritas negara-negara berkembang, yang setidaknya terlihat dari NDC yang disampaikan.
Selain target kuantitatif, aspek kualitatif pun menjadi penting bagi negara-negara berkembang utamanya dari sisi akses pada pendanaan iklim yang ada. Akses menjadi penting karena walaupun secara kuantitatif pendanaan iklim tersedia, namun jika tidak dapat diakses oleh negara berkembang, maka pendanaan iklim tersebut tidak dapat memberikan dampak yang berarti bagi negara-negara berkembang. Itu sebabnya, memastikan akses pada pendanaan iklim yang tersedia sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya, menjadi penting bagi negara-negara berkembang.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, memandang penting untuk menggali kedua isu ini dalam konteks Indonesia. Itu sebabnya, sebuah diskusi terkait penentuan kebutuhan, prioritas, serta akses Indonesia pada pendanaan iklim, kemudian dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2024 di Hotel Borobudur, Jakarta.
Kesiapan Indonesia dalam mengakses pendanaan iklim multilateral
Isu terkait dengan kesiapan Indonesia dalam mengakses pendanaan iklim yang ada, utamanya pendanaan multilateral, menjadi pembahasan yang panjang. Pendanaan multilateral di bawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang saat ini ada – Adaptation Fund dan Green Climate Fund, contohnya – ternyata masih sangat sulit untuk diakses oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kapasitas lembaga perantara pendanaan iklim – melalui siapa dana-dana multilateral ini disalurkan – ternyata masih sangat minim. Itu sebabnya, tidak banyak lembaga perantara Indonesia yang kemudian dapat memenuhi ketentuan dari pendanaan multilateral. Keterbatasan ini tentunya mengecilkan peluang Indonesia untuk mengakses dana multilateral yang ada.
Hal lain yang juga teridentifikasi adalah yang terkait dengan penyusunan proposal. Isu seperti memberikan konteks iklim atau climate rationale, sebagai basis penyusunan proposal, juga muncul sebagai hal yang perlu untuk ditingkatkan. Sering kali pada tahap penyusunan proposal terkait isu adaptasi, masih banyak aktor yang memiliki tantangan saat harus membedakan mana aksi adaptasi dan pembangunan (development), atau pengurangan risiko bencana.
Co-financing juga menjadi salah satu aspek yang membuat beberapa entitas kemudian enggan untuk mengakses dana-dana multilateral. Hal ini memberikan pelajaran bahwa memang untuk mengakses dana yang lebih besar, utamanya dana-dana multilateral, maka kapital yang diperlukan oleh pengaju proposal pun juga harus besar. Belum lagi hal-hal lain yang harus dihadapi seperti lamanya proses penyusunan dan pengajuan proposal, yang dapat mencapai waktu 5-6 tahun sebelum akhirnya disetujui oleh pengelola dana iklim. Lamanya proses persetujuan tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran bahwa konsep yang diajukan sudah tidak lagi relevan pada saat proposal tersebut disetujui.
Menentukan dan menghitung kebutuhan dan prioritas Indonesia
Terkait dengan menentukan dan menghitung kebutuhan dan prioritas Indonesia akan pendanaan iklim, muncul kebutuhan terkait blueprint aksi iklim apa yang memang diperlukan oleh Indonesia dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Keberadaan blueprint ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait jenis aksi iklim apa yang dapat didanai oleh jenis pendanaan apa; apakah multilateral, bilateral, filantropi, atau bahkan anggaran nasional. Adanya blueprint ini juga memungkinkan terjadinya mekanisme blended finance untuk mencapai satu tujuan yang sama. Namun, pada saat ini, NDC dapat menjadi basis sementara guna mengetahui kebutuhan dan prioritas Indonesia terkait dengan aksi iklim.
Mengoptimalkan akses Indonesia pada pendanaan iklim
Terlepas dari keterbatasan Indonesia dalam mengakses pendanaan iklim, namun Indonesia memiliki beberapa pilihan untuk dilakukan. Mempertemukan para pihak yang relevan dengan proyek pendanaan iklim yang ada melalui forum-forum kolaborasi, menjadi salah satu kebutuhan yang teridentifikasi dalam diskusi guna meningkatkan jumlah proposal yang dapat diajukan oleh Indonesia ke pendanaan multilateral.
Forum-forum ini juga dapat menjadi sebuah wadah terjadinya pertukaran informasi terkait pendanaan iklim yang ada di Indonesia. Selain itu, informasi-informasi ini juga diusulkan agar dapat diakses oleh publik yang lebih luas, sehingga semakin banyak orang yang mengetahui tentang jenis-jenis pendanaan iklim yang ada di Indonesia, serta aksi-aksi iklim apa di Indonesia yang didukung oleh pendanaan iklim internasional.
Bagikan :