Meletakkan Transisi Energi Berkeadilan dalam Rencana Pembangunan Nasional 

Penulis: Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan, dan Maria Putri Adianti, Junior Communication Officer

Transisi energi menjadi upaya krusial bagi suatu negara dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE)-nya, termasuk Indonesia. Selain untuk mencapai target penurunan emisi, Indonesia juga harus memastikan bahwa upaya transisi energinya mampu menunjang ketahanan energi jangka panjang, serta membawa pertumbuhan ekonomi. Just Energy Transition Partnership (JETP) – salah satu bentuk kerjasama terkait transisi energi berkeadilan, yang secara resmi diumumkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2022 lalu antara negara-negara International Partnership Group (IPG) dan Indonesia – sebenarnya dapat membantu Indonesia untuk melakukan transisi energi lebih cepat. Walau demikian, transisi energi berkeadilan ini juga harus berada di dalam rencana pembangunan nasional Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana transisi energi berkeadilan ditempatkan dalam rencana pembangunan nasional?  

Terkait dengan hal tersebut, pada hari Rabu, 17 Mei 2023, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Meletakkan Transisi Energi Berkeadilan dalam Rencana Pembangunan Nasional” secara luring di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta. Diskusi ini bertujuan untuk melihat sejauh mana skenario transisi energi berkeadilan ada di dalam rencana pembangunan nasional Indonesia. Diskusi ini dimoderatori oleh  Moekti Handajani Soejachmoen (Kuki), Direktur Eksekutif IRID, dengan narasumber Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); Mahatmi Parwitasari Saronto, Direktur Ketenagakerjaan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas; serta Edo Mahendra selaku ​​Penasehat Khusus Menteri Bidang Energi Terbarukan dari Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi. 

Indonesia Menuju Net Zero Emission (NZE)  

Pemerintah Indonesia, di dalam Enhanced NDC 2030-nya, berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)  sebesar 31,89% melalui kemampuan sendiri, dan 43,20% apabila tersedia dukungan internasional.  Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kemudian menyusun peta jalan menuju NZE 2060 di sektor energi. Peta jalan tersebut menggambarkan adanya pengurangan emisi GRK sebesar 93% dari Business as Usual (BaU) yang akan dilakukan melalui optimalisasi sisi suplai dengan menggunakan  Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sisi demand melalui upaya efisiensi energi. Pada sisi suplai, melakukan moratorium PLTU berbasis batubara dan melakukan pensiun dini PLTU juga direncanakan untuk dilakukan. Selain itu, penguatan regulasi terkait dengan energi terbarukan juga diperlukan untuk mempercepat investasi transisi energi; Peraturan Presiden 112 tahun 2022 merupakan salah satunya, serta RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). 

Transisi ini tentunya membutuhkan sumber daya manusia untuk menjawab tantangan menuju NZE. Sayangnya, saat ini pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan masih terfokus pada energi berbasis surya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengembangan sumber daya manusia yang lebih luas untuk mendukung upaya melakukan transisi energi. 

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia Sebagai Kunci dalam Mengantisipasi Transisi Energi Berkeadilan 

Saat ini, perekonomian Indonesia terjebak dalam middle income trap, dan Indonesia perlu untuk keluar dari status ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan transformasi ekonomi. Transformasi ekonomi dapat dilakukan melalui pengembangan ekonomi hijau guna meningkatkan produktivitas, dimana pembangunan rendah karbon menjadi salah satu instrumen untuk melakukan transisi ekonomi yang berkelanjutan. Untuk menerapkan pembangunan rendah karbon, transisi energi menjadi salah satu bagian penting dalam implementasinya. 

Berbicara mengenai transisi energi, pada umumnya saat ini masih berbicara mengenai sisi teknisnya dan belum pada sumber daya manusianya. Padahal, jika transisi energi menjadi salah satu bagian dari rencana Pemerintah untuk melakukan pembangunan ekonomi hijau, maka idealnya ekonomi hijau tersebut akan menciptakan pekerjaan hijau (green jobs). Namun, yang perlu diperhatikan juga saat ini adalah bukan hanya mengenai bagaimana sumber daya manusia yang ada bertransisi dari pekerjaan yang brown ke pekerjaan yang green; namun, bagaimana memastikan bahwa orang-orang yang memiliki pekerjaan brown, akan tetap punya pekerjaan. Kondisi green ini sebenarnya memerlukan tenaga kerja yang memiliki keterampilan menengah tinggi, sedangkan tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh lulusan SMP atau bahkan lebih rendah. Hal ini menjadi tantangan terutama bagi mereka yang bekerja di pekerjaan yang kebutuhan skill-nya menengah ke atas (lebih tinggi dari SMA). 

Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia  

JETP merupakan salah satu bentuk kerjasama antara negara-negara IPG dengan beberapa negara berkembang seperti Vietnam, Afrika Selatan, dan Indonesia. Tujuan utama dari JETP adalah untuk membantu negara-negara berkembang melakukan upaya dekarbonisasi di sektor energi. Dalam konteks kerjasama ini, Indonesia diharapkan dapat menyusun sebuah rencana investasi dan kebijakan terkait transisi energi berkeadilan. Rencana tersebut harus dapat menggambarkan rencana Indonesia untuk melakukan penurunan 290 juta ton emisi CO2 di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dan terus menurun setelahnya hingga mencapai kondisi NZE di tahun 2050. Rencana tersebut juga diharapkan dapat menggambarkan bagaimana porsi energi terbarukan dapat mencapai 34% dari seluruh pembangkit listrik pada tahun 2030. Untuk kerjasama ini, dana yang dimobilisasi adalah sebesar USD 20 miliar dalam 3-5 tahun ke depan, dimana USD 10 miliar akan dimobilisasi oleh negara-negara IPG, sedangkan USD 10 miliar lainnya akan dimobilisasi oleh pihak swasta.  

Bagi Indonesia, Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang akan disusun harus memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi-sosial Indonesia dan menjamin keterjangkauan energi; memastikan stabilitas jaringan; dan memastikan pencapaian target emisi karbon sejalan dengan ambisi pemerintah. CIPP akan menjadi living document yang akan terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan pasar dan prioritas terkini.  

Untuk mengoperasionalisasikan implementasinya, sekretariat JETP Indonesia kemudian dibentuk dimana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menjadi host-nya. Sekretariat JETP akan melakukan serangkaian dialog partisipatif untuk memastikan keselarasan antara para pemangku kepentingan, antara lain: Pemerintah Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan dan asosiasi swasta, badan dan institusi internasional, think tank, institusi lingkungan, institusi sosial dan persatuan buruh/pekerja. 

Bagikan :