Photo Credit: Maria Putri Adianti, Staf Komunikasi
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang terbentuk di daerah pesisir pantai dan menjadi habitat bagi berbagai jenis tumbuhan dan hewan air payau. Selain untuk menjaga keanekaragaman hayati di wilayah pesisir, hutan mangrove juga dapat berkontribusi pada upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Desa Tanah Merah di Kabupaten Kupang, NTT, merupakan salah satu daerah yang memiliki hutan mangrove yang luas di wilayah timur Indonesia.

Joni Mesakh (sebelah kanan) atau akrab disapa dengan sebutan Om Joni, adalah salah satu tokoh masyarakat Desa Tanah Merah dengan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan. Pada tahun 2004, Om Joni dan almarhum ayahnya khawatir akan nasib pesisir dan masyarakat desa, akibat terjadinya abrasi di sekitar desa yang disebabkan oleh penambangan pasir besar-besaran di tahun 1980-an. Atas masukan dari pendeta dan tokoh masyarakat, sang ayah kemudian berinisiatif untuk melakukan penanaman kembali tanaman mangrove di desanya.

Penanaman pertama terjadi di tahun 2004 yang didampingi oleh Dinas Lingkungan hidup dan Kehutanan (DLHK), dimana keluarga Om Joni dan masyarakat desa menanam sekitar 50.000 anakan bakau di area seluas 5 hektar. Penanaman anakan bakau kemudian kembali dilakukan pada tahun 2008, sebanyak 100.000 tanaman di atas lahan seluas 10 hektare.

Jenis tanaman bakau yang ditanam di Desa Tanah Merah yang paling dominan adalah jenis Rhizophora sp. (bakau akar gantung) dan Bruguiera sp. (bakau akar tancap). Pohon bakau jenis ini dapat tumbuh hingga belasan meter dan berumur hingga 40 tahun.

Hingga kini, wilayah tanaman mangrove telah mencapai 107 hektare yang dikelola bersama dengan masyarakat Desa Tanah Merah. Peristiwa badai Seroja pada tahun 2021 lalu membuat Masyarakat Desa Tanah Merah menjadi percaya akan manfaat mangrove bagi mereka. Pada saat ratusan rumah di Kupang rusak akibat badai Seroja, tidak ada satu pun rumah di Desa Tanah Merah yang terdampak.
Bagikan :