Kerangka kerja Global Goal on Adaptation (GGA) telah memberikan landasan kuat untuk peningkatan upaya adaptasi, utamanya di negara-negara berkembang, yang sedang mengejar ketertinggalan pembangunan. Untuk menyelaraskan target-target pada kerangka GGA ke dalam konteks pembangunan, Indonesia perlu menilik kembali komitmen-komitmen yang diyakini memiliki potensi sinergi dengan peningkatan upaya adaptasi, seperti dalam Convention on Biological Diversity (CBD), Convention to Combat Land Degradation and Desertification (UNCCD), RAMSAR Convention, Sendai Framework on Disaster Risk Reduction (SFDRR), serta 2030 Agenda of Sustainable Development Goals (SDGs). Sinergi tersebut dapat menjadi dasar Indonesia untuk penyusunan komponen adaptasi di dalam Nationally Determined Contribution (NDC) selanjutnya, serta strategi adaptasi di dalam National Adaptation Plan (NAP).
GGA dan NDC Indonesia
Indonesia sendiri telah menyampaikan tujuan adaptasi nasional dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada tahun 2022 yang memiliki fokus tiga area ketahanan. Tiga area ketahanan mencakup ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan perikehidupan, serta ketahanan ekosistem dan lanskap yang secara operasional diprioritaskan pada sektor pangan, air, energi, kesehatan, kebencanaan, dan ekosistem. Beberapa sektor prioritas di dalam ENDC Indonesia, yaitu pangan, air, kesehatan, dan ekosistem, sudah tercakup dalam bidang prioritas target pencapaian GGA.
Tidak ada batasan untuk menambahkan sektor-sektor prioritas sesuai kebutuhan nasional. Namun, Indonesia perlu memperjelas definisi sektor-sektor untuk NDC selanjutnya, misalnya definisi sektor pangan, apakah hanya terkait makanan dalam bentuk bahan mentah atau hingga siap untuk dikonsumsi? Definisi sektor air, apakah air permukaan saja atau air bersih yang siap dimanfaatkan oleh masyarakat? Pendekatan upaya adaptasi secara sektoral ini juga perlu dianalisis lebih lanjut, apakah sesuai untuk diterapkan pada kondisi lanskap yang berbeda?
Meskipun kerangka GGA belum memiliki target yang terukur untuk bidang prioritas, Indonesia telah menetapkan target pengurangan risiko sebesar 2,87% Produk Domestik Bruto (PDB) melalui strategi dan aksi adaptasi yang disusun di dalam Roadmap NDC Adaptasi. Sementara itu, dalam dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) Indonesia, target dan indikator yang ditetapkan adalah persentase berkurangnya penurunan PDB pada empat sektor prioritas, yaitu sektor kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan. Target ini dapat menjadi modalitas bagi Indonesia dalam menentukan kontribusi pengurangan risiko di sektor-sektor lainnya, serta melihat kesenjangan dan kebutuhan (termasuk aspek pendanaan) untuk setiap aksi adaptasi.
Peluang dan Tantangan Penyusunan National Adaptation Plan (NAP) di Indonesia
Terkait dengan mandat GGA untuk menyampaikan NAP dan perkembangan implementasinya di tahun 2030, per tanggal 11 November 2023 lalu Indonesia masih dalam tahap menginisiasi proses untuk penyusunan NAP (UNFCCC, 2023). Adapun penyusunan NAP Indonesia diharapkan mempertimbangkan informasi ilmiah (proyeksi iklim, skenario iklim), serta strategi-strategi adaptasi yang sudah ada, seperti dalam dokumen PBI, guna menyinergikan upaya adaptasi dengan perencanaan pembangunan.
Modalitas data dan informasi terkait komponen adaptasi juga penting untuk memetakan target dan indikator di dalam NAP, seperti yang ada pada Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK)[1]. Informasi dalam SIDIK mencakup 2 dari 3 elemen GGA, yaitu kapasitas adaptif dan tingkat kerentanan. Meskipun perhitungan SIDIK sudah sampai satuan unit desa, integrasi SIDIK dengan sistem lain yang dimiliki sektor-sektor juga perlu dipertimbangkan, misalnya Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) pada sektor kebencanaan dan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) pada sektor pangan, sehingga akan menjadi one big data adaptasi.
Selain itu, metode pelaporan dan evaluasi implementasi adaptasi perubahan iklim yang efektif juga perlu dikembangkan dalam konteks nasional. Meskipun pencapaian GGA nantinya akan ditinjau di dalam Global Stocktake (GST) setiap 5 tahun sekali, namun Indonesia juga perlu memiliki pelaporan aksi adaptasi yang tervalidasi sebagai bahan evaluasi perencanaan adaptasi selanjutnya. Metode pelaporan ini tentunya harus bersifat partisipatif dan transparan, serta dapat menjangkau berbagai skala dan level masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar berbagai aksi adaptasi yang telah dilakukan di tingkat daerah dapat dipertimbangkan sebagai kontribusi atas pencapaian target adaptasi nasional.
Menyelaraskan target-target pada kerangka kerja GGA ke dalam dokumen-dokumen adaptasi Indonesia, tidak bisa terlepas dari prinsip best available science dan keadilan. Itu sebabnya, informasi dan analisis ilmiah terkait iklim yang ada harus menjadi basis untuk seluruh perencanaan aksi iklim. Pendekatan adaptasi juga harus dimulai dari tingkat tapak, bagaimana memastikan bahwa masyarakat lokal, terutama mereka yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, diikutsertakan dalam upaya adaptasi mulai dari tahap perencanaan, pengambilan keputusan, aksi, hingga evaluasi. Menyesuaikan strategi adaptasi nasional dengan konteks lokal diyakini lebih efektif dalam meningkatkan respon dan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Selain itu, pendekatan berbasis komunitas juga penting untuk menentukan langkah-langkah distribusi Means of Implementation (mobilisasi pendanaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas untuk adaptasi) yang berkeadilan bagi semua.
[1] SIDIK merupakan aplikasi yang dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak tahun 2012, untuk menyajikan informasi tingkat kerentanan dan risiko iklim sampai unit desa (http://sidik.menlhk.go.id/).
Bagikan :