Pada 23 Juli 2025 lalu, Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) mengeluarkan Advisory Opinion[1] tentang perubahan iklim. Ini merupakan langkah besar dalam sejarah hukum internasional, karena ICJ untuk pertama kalinya menegaskan bahwa negara-negara memiliki tanggung jawab hukum untuk mencegah kerusakan pada sistem iklim. Pendapat ini memperkuat dasar hukum bagi aksi iklim yang lebih serius dan berbasis bukti ilmiah.
Perjalanan Panjang Pendapat Hukum tentang Perubahan Iklim
Pada tahun 2021, Vanuatu mengumumkan niatnya untuk meminta Advisory Opinion ICJ tentang perubahan iklim. Permintaan Advisory Opinion tersebut diajukan saat Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2023 dengan didukung oleh negara Pasifik lainnya, yang kemudian disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 77/276 pada 12 April 2023. ICJ kemudian meminta masukan dalam bentuk pernyataan tertulis dari negara-negara dan organisasi internasional, yang menghasilkan 91 pernyataan dan 63 komentar tambahan.
Proses ini mencapai puncaknya dalam sidang terbuka ICJ tentang kewajiban negara terkait perubahan iklim pada 2–13 Desember 2024, yang melibatkan 96 negara dan 11 organisasi internasional, menjadikan sidang ini menjadi sidang terbuka dengan partisipasi terbanyak dalam sejarah ICJ.
ICJ diminta untuk menjawab dua pertanyaan utama dalam Advisory Opinion-nya:
- Apa kewajiban negara menurut hukum internasional untuk memastikan perlindungan terhadap sistem iklim dan bagian lain dari lingkungan hidup dari emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh aktivitas manusia, baik untuk negara-negara maupun bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang?; dan
- Apa konsekuensi hukum berdasarkan kewajiban tersebut bagi negara yang, melalui tindakan maupun kelalaiannya, telah menimbulkan kerusakan signifikan terhadap sistem iklim dan bagian lain dari lingkungan, sehubungan dengan:
- Negara, khususnya negara-negara pulau kecil berkembang, yang karena keadaan geografis dan tingkat pembangunannya, mengalami kerugian, terdampak secara khusus, atau sangat rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim;
- Masyarakat dan individu dari generasi sekarang maupun generasi mendatang yang terkena dampak buruk perubahan iklim.
Untuk menentukan batasan dan menjawab kedua pertanyaan di atas, ICJ mempertimbangkan berbagai sumber hukum dan prinsip internasional, diantaranya perjanjian perubahan iklim di bawah PBB – United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Protokol Kyoto, dan Persetujuan Paris – dan hukum lingkungan internasional lainnya yang relevan, seperti United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tentang kelautan, United Nation Convention on Biological Diversity (CBD) tentang keanekaragaman hayati, Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer tentang penipisan lapisan ozon, dan United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) tentang penggurunan. Selain itu, ICJ juga merujuk pada kewajiban di bawah hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, yang menggarisbawahi bahwa penjagaan sistem iklim dan lingkungan merupakan prasyarat penting untuk pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
ICJ juga merujuk pada prinsip hukum internasional seperti prinsip untuk mencegah kerusakan lingkungan yang signifikan (prevention of significant harm to the environment). Selain itu, Advisory Opinion ini juga merujuk pada data-data ilmiah, termasuk yang berasal dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Bagaimana Isi dari Advisory Opinion ICJ terkait Perubahan Iklim?
Terkait dengan pertanyaan mengenai kewajiban negara, ICJ menegaskan bahwa semua negara memiliki kewajiban hukum untuk mencegah kerusakan iklim, terlepas apakah mereka menjadi Pihak dalam suatu perjanjian iklim internasional, seperti Persetujuan Paris, atau tidak. Kewajiban ini berasal dari hukum kebiasaan internasional yang berlaku universal dimana negara bisa dianggap bertanggung jawab secara hukum jika mereka gagal mengambil tindakan yang tepat dalam upaya pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK), termasuk yang dihasilkan oleh sektor swasta di dalam yurisdiksinya.
ICJ juga mencatat pentingnya kewajiban untuk bekerja sama (duty to cooperate) baik di bawah perjanjian iklim internasional maupun hukum kebiasaan internasional. Dalam Persetujuan Paris contohnya, negara bebas menentukan cara kerja sama baik dalam bantuan keuangan, peningkatan kapasitas, dan transfer teknologi. Dalam hukum kebiasaan internasional, kerja sama sangat penting terutama untuk sumber daya bersama, dan hal ini semakin relevan pada sistem iklim yang tidak mengenal batas negara. Meski Advisory Opinion ICJ tidak menyatakan batas GRK yang boleh diemisikan, negara wajib menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan secara signifikan (duty to prevent significant environmental harm), termasuk aktivitas yang dapat berkontribusi pada peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer pada level yang dapat mengintervensi sistem iklim global, sehingga mengakibatkan perubahan iklim.
Terkait dengan konsekuensi hukum, opini ini secara tegas menyatakan bahwa negara-negara harus menghadapi konsekuensi hukum karena melanggar kewajibannya dalam menjaga sistem iklim berdasarkan UNFCCC dan hukum kebiasaan internasional lainnya. Secara garis besar, konsekuensi hukum yang akan dikenakan pada negara jika gagal melaksanakan kewajibannya, antara lain:
- Negara wajib menghentikan tindakan yang melanggar dan memberi jaminan agar pelanggaran serupa tidak terulang, misalnya mencabut izin atau kebijakan yang mendorong aktivitas bahan bakar fosil;
- Negara wajib memberi reparasi penuh jika kerugian terbukti, baik melalui restitusi (memulihkan ekosistem atau membangun kembali infrastruktur yang tahan iklim), kompensasi finansial, maupun tindakan satisfaction seperti permintaan maaf;
- Meski telah melakukan pelanggaran, negara tetap memiliki kewajiban berkelanjutan untuk mematuhi komitmennya, misalnya dengan memperbarui Nationally Determined Contribution (NDC) secara progresif dan lebih ambisius.
Lebih lanjut, ICJ menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan fenomena kompleks yang melibatkan tanggung jawab banyak negara dalam jangka panjang. Masalah utama dalam penerapan aturan tanggung jawab negara adalah atribusi (mengaitkan tindakan/kelalaian pada negara tertentu) dan kausalitas (hubungan sebab-akibat antara perbuatan negara dan kerugian).
Walau emisi GRK bersifat kumulatif, secara ilmiah dimungkinkan untuk menilai kontribusi total tiap negara, baik secara historis maupun saat ini. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, setiap negara yang dirugikan dapat menuntut tanggung jawab negara lain yang melakukan pelanggaran, termasuk jika beberapa negara bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum. ICJ menekankan bahwa kausalitas bukan syarat untuk menentukan tanggung jawab, tetapi penting untuk menilai ganti rugi (reparation). Harus ada hubungan sebab-akibat yang langsung dan pasti antara pelanggaran dan kerugian. Standar ini cukup fleksibel untuk diterapkan pada konteks perubahan iklim.

Advisory Opinion ICJ sebagai Dasar untuk Mendorong Komitmen Iklim yang Lebih Ambisius
ICJ dengan tegas menyatakan bahwa pembaruan NDC yang dilakukan setiap lima tahun harus lebih ambisius dari sebelumnya, untuk mewujudkan tujuan Persetujuan Paris. Sejalan dengan hal tersebut, para Pihak juga berkewajiban untuk melakukan upaya terbaik guna mencapai komitmen iklim pada NDC mereka. Walaupun Advisory Opinion terkait perubahan iklim ini pada dasarnya tidak mengikat secara hukum, namun, Advisory Opinion ini mampu membuka jalan untuk mendorong seluruh Pihak guna melakukan aksi iklim yang ambisius, seperti yang tercantum di dalam NDC.
Selain itu, kewajiban negara untuk melindungi sistem iklim termasuk dalam obligasi erga omnes, yaitu kewajiban yang menjadi kepentingan bersama semua negara. Karena itu, setiap negara berhak menuntut tanggung jawab atas pelanggaran kewajiban tersebut. Dalam praktiknya, gugatan dapat diajukan oleh negara yang merasa dirugikan atau oleh negara lain demi kepentingan bersama di hadapan ICJ. Proses litigasi kemudian mencakup pemeriksaan fakta, penerapan hukum internasional, hingga putusan yang bersifat mengikat. Baik negara yang dirugikan secara langsung (injured state) maupun negara yang dirugikan secara tidak langsung (non-injured state) dapat menuntut penghentian tindakan salah (cessation), jaminan agar pelanggaran tidak terulang, serta pelaksanaan reparasi untuk negara atau pihak yang terdampak atau dirugikan. Khusus untuk negara yang dirugikan langsung berhak menuntut kompensasi atas kerugian yang dialaminya.
[1] ICJ umumnya mengeluarkan Advisory Opinion untuk menjawab pertanyaan hukum, mengklarifikasi dan mengembangkan hukum internasional dengan tidak mengikat, namun bijaksana kepada negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan-badan PBB, serta beberapa organisasi internasional lain yang terkait. Pendapat hukum ini berfungsi sebagai instrumen preventive diplomacy dengan memberikan informasi dan pertimbangan atas isu-isu yang kompleks dalam ranah hukum internasional. Sumber: https://www.icj-cij.org/advisory-jurisdiction
Bagikan :

