Hutan memegang peran penting sebagai penopang kehidupan, sumber ekonomi, sekaligus penyeimbang iklim global. Namun dalam beberapa dekade terakhir, tekanan terhadap ekosistem hutan meningkat akibat perubahan pola pemanfaatan lahan, kebutuhan pembangunan, serta dampak perubahan iklim yang mempercepat kerusakan lingkungan. Menurut UNCCD (2017) dalam World Bank (2021), satu per tiga dari seluruh lahan dan 20% dari seluruh tutupan hutan di dunia telah terdegradasi. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa masih banyak masyarakat yang bergantung pada sumber daya hutan yang justru semakin langka di era perubahan iklim ini. Oleh karena itu, pengelolaan hutan berkelanjutan penting untuk memastikan masyarakat tetap memiliki akses dalam mengelola sekaligus menjaga hutan.

Pendekatan dan Kebijakan Perhutanan Sosial di Indonesia
Dalam upaya pemanfaatan hutan, perhutanan sosial dikenal sebagai sebuah pendekatan yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan hutan, mulai dari pemanfaatan, perlindungan, hingga pengawasan hutan. Pengelolaan perhutanan sosial di Indonesia telah diatur dalam kerangka hukum dan kebijakan. Pertama adalah PP No. 23 Tahun 2021 yang mengatur mengenai perencanaan kehutanan, salah satunya adalah pengelolaan perhutanan sosial. Kedua, Permen LHK No. 9/2021 tentang Perhutanan Sosial telah mengubah syarat pemegang izin perhutanan sosial, dari yang sebelumnya harus kepala keluarga, menjadi siapa saja yang berdomisili di wilayah sekitar hutan. Dengan demikian, perempuan juga dapat mengelola hutan dan mendapat manfaatnya.
Melalui pendekatan dan kebijakan tersebut, kelestarian hutan diharapkan dapat berjalan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat adat dan komunitas lokal, khususnya perempuan. Perempuan memiliki kedekatan yang kuat dengan hutan, karena tanggung jawab mereka dalam mengelola kebutuhan rumah tangga, mengumpulkan bahan pangan, obat tradisional, maupun hasil hutan lainnya. Keterlibatan sehari-hari inilah yang membuat perempuan dapat memiliki pengetahuan lokal yang berharga dan perspektif unik dalam menjaga keberlanjutan hutan.
Selain itu, dalam Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN GPI) yang diluncurkan pada tahun 2024, pembahasan terkait pengarusutamaan gender dalam pengelolaan perhutanan sosial juga mulai didorong. Sebagai tindak lanjutnya, pada bulan Juni 2025 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah menyelenggarakan Workshop Percepatan Pelaksanaan RAN GPI, dimana perhutanan sosial menjadi salah satu fokus diskusi untuk mendorong keterlibatan perempuan sebagai pengelola maupun pemilik lahan hutan.

Praktik Baik Keterlibatan Perempuan dalam Perhutanan Sosial di Indonesia beserta Tantangannya
Indonesia telah memiliki beberapa contoh praktik baik pemberdayaan perempuan dalam perhutanan sosial di beberapa daerah. Di Aceh misalnya, terdapat Mpu Uteun yang dibentuk oleh Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Desa Damaran Baru pada tahun 2017. Mpu Uteun merupakan kelompok ranger perempuan pertama di Aceh yang mendedikasikan hidupnya untuk melindungi hutan desa dari para penebang dan pemburu liar. Pada tahun 2019, LPHK Desa Damaran Baru dan Mpu Uteun mendapat kepercayaan pemerintah untuk menjaga dan memanfaatkan hutan Damaran Baru, melalui Perhutanan Sosial dalam skema Hutan Desa seluas 251 ha. Pada tahun 2023, mereka menerima penghargaan Kalpataru untuk kategori “Penyelamat Lingkungan”. Selain itu, komunitas ranger perempuan juga dibentuk di Desa Mendale, Kabupaten Aceh Tengah, oleh Lembaga Pengelolaan Hutan Kampung [LPHK] Peteri Pukes yang mendapat izin pengelolaan Perhutanan Sosial sejak Mei 2024. Kedua LPHK tersebut secara aktif didampingi oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA).
Di Papua, terdapat praktik baik untuk menyeimbangkan antara tradisi lokal dan konservasi ekosistem. Di Teluk Youtefa, terdapat hutan bakau yang hanya boleh dimasuki perempuan, dikenal sebagai Tonotwiyat atau “Hutan Perempuan”. Hutan ini adalah warisan adat dari suku Enggros, yang menjadi tempat istimewa bagi perempuan untuk mengumpulkan kerang dan berbagi cerita. Laki-laki tidak diperbolehkan memasuki hutan karena para perempuan biasanya tidak berbusana, dan hanya diperbolehkan masuk untuk mengumpulkan kayu, ketika sudah tidak ada perempuan. Bila dilanggar, dewan adat akan mengenakan denda dalam jumlah tertentu. Keberadaan Tanotwiyat menjadi perwujudan kebebasan bagi perempuan dalam memanfaatkan hutan dan menjaga keberlanjutan ekosistem di dalamnya. Selain itu, di pedalaman hutan Papua Barat, perempuan petani hutan bernama “Mama Siti” memimpin para perempuan adat untuk melanjutkan tradisi budidaya buah pala. Berkat kerja kerasnya, komoditas pala lokal berkembang pesat dan telah memasuki industri parfum global. Mereka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga telah meningkatkan ekonomi berbasis hutan.
Meskipun terdapat beberapa praktik baik, masih banyak tantangan yang dihadapi untuk mendorong peran perempuan dalam perhutanan sosial di Indonesia. Pertama, perjuangan perempuan untuk berpatroli melindungi hutan menjadi lebih menantang karena stereotip pekerjaan tersebut sebagai “pekerjaan yang maskulin” dan faktor keamanan. Kedua, konversi lahan untuk pembangunan infrastruktur. Misalnya, pembangunan di teluk Youtefa, Papua telah mengubah berhektar-hektar hutan bakau menjadi jalan-jalan besar dan jembatan sepanjang 700 meter yang melintasi dermaga Enggros. Hal ini menyebabkan konsentrasi logam berat yang tinggi dari limbah industri mencemari hutan bakau di dalam teluk. Akibatnya, para perempuan pencari kerang kehilangan ruang untuk mencari pangan dan menambah penghasilan mereka, karena beberapa spesies hutan bakau telah tercemar dan akan membahayakan kesehatan bila dikonsumsi.
Tantangan yang ada menunjukkan bahwa penguatan peran dan dukungan bagi perempuan dalam perhutanan sosial, masih menghadapi banyak kendala. Namun, pengalaman-pengalaman inspiratif di berbagai daerah telah membuktikan bahwa ketika perempuan diberi ruang yang partisipatif, hutan dan masyarakat akan sama-sama mendapatkan manfaat.
Bagikan :

