Kontribusi Daerah terhadap Pencapaian Target Iklim Indonesia: Pembelajaran Sulawesi Tengah

(Dokumentasi: IRID, 2024)

Sebagai salah satu negara Pihak yang meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan Persetujuan Paris yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Untuk mengimplementasikan NDC, Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (PerPres) No. 98/2021 mengenai penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional, yang memberikan arahan terkait dengan implementasi NDC di Indonesia. Peran daerah dalam pencapaian target iklim Indonesia tersebut, juga tercantum di dalamnya, yang kemudian diperjelas dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PerMen LHK) No. 12 tahun 2024. Itu sebabnya, penting bagi daerah untuk menyelaraskan aksi iklim yang dilakukan di daerah dengan upaya Indonesia untuk berkontribusi pada pencapaian tujuan Persetujuan Paris. Dalam konteks tersebut, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)Yayasan Pikul dan Walhi Sulawesi Tengah mengadakan diskusi publik yang diikuti oleh beberapa pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah provinsi Sulawesi Tengah dan pemerintah daerah kabupaten, serta kelompok masyarakat sipil pada tanggal 12 Desember 2024 di Palu, Sulawesi Tengah.

Arah Kebijakan Iklim Provinsi Sulawesi Tengah

Kenaikan temperatur permukaan Sulawesi Tengah tercatat mengalami kenaikan sebesar 1,2oC selama 10 tahun terakhir. Sebagian besar daerah di Sulawesi Tengah mengalami perubahan temperatur rata-rata hingga 0,5oC, dengan kabupaten terpanas adalah Donggala, dimana suhu mencapai hingga 28,1oC. Pada bulan Oktober 2024 yang lalu, Donggala mengalama banjir rob di Desa Towale, yang merendam hingga 50 rumah dan berdampak pada 350 jiwa.

Upaya sinkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah Sulawesi Tengah pun dilakukan, dengan merujuk pada Surat Edaran Bersama tentang penyelarasan RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) dengan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) tahun 2025-2045. Sebagai tindak lanjutnya, provinsi Sulawesi Tengah kemudian mengeluarkan Peraturan Daerah No. 9/2024 yang meminta kepada pemerintah kabupatan/kota untuk menyelaraskan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) kabupaten/kota dengan RPJPD Provinsi. 

Implementasi Aksi Iklim di tingkat Kabupaten

Walaupun aksi iklim sudah direncanakan dengan baik di daerah, namun tantangan berupa gap kapasitas dan sumber daya antara pusat dan daerah masih menjadi isu yang belum dapat diatasi. Hal lain yang juga menjadi tantangan adalah adanya beragamnya prioritas dan kebutuhan daerah, yang utamanya dipengaruhi oleh letak geografis, ekonomi, serta penentuan prioritas. Itu sebabnya perencanaan harus disesuaikan dengan konteks lokal atau daerah yang dimaksud. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemetaan sumber daya alam dan potensi daerah, yang kemudian diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah, dalam bentuk RPJPD.

Kabupaten Poso saat ini telah memiliki Integrated Area Development (IAD), dimana pembentukan kelompok kerja perhutanan sosial terjadi. Kelompok kerja ini terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya adalah kelompok masyarakat sipil dan akademisi. 

Kelompok kerja ini memberikan pembelajaran bahwa adanya forum koordinasi yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, memainkan peranan penting dalam implementasi RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), sebagaimana yang telah diakomodir dalam RPJMD Kabupaten Poso.

Pengembangan Energi Terbarukan berbasis Komunitas: Pembelajaran dari Desa Kaduwaa

Desa Kaduwaa terletak di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso, dimana pembangkit listrik tenaga air skala mikro (mikrohidro) dibangun pada tahun 2010. Manajemen pengelolaan mikrohidro ini dilakukan oleh 7 (tujuh) orang yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Desa. SK tersebut juga memuat ketentuan pembayaraan iuran per rumah per bulan sebesar Rp. 20.000 (dua puluh ribu rupiah). Walau demikian, operasional dari mikrohidro ini mengalami beberapa tantangan atau kendala, berupa hal teknis, administrasi, dan kendala lainnya. 

Salah satu kendala teknis yang dihadapi adalah kelebihan pemakaian daya listrik yang terjadi di malam hari. Terkait dengan kendala administrasi, tidak semua pelanggan yang menggunakan listrik kemudian membayar tagihan yang telah disepakati di awal (Rp 20.000 per rumah per bulan). Kendala lain yang juga mempengaruhi kerja dari mikrohidro ini adalah terjadinya penurunan debit air akibat musim kemarau, ketiadaan akses untuk spare part dan teknisi yang dapat memperbaiki mikrohidro, apabila terjadi kerusakan.

Isu lain yang muncul

Diskusi ini juga memunculkan beberapa poin yang terkait dengan upaya daerah dalam melakukan aksi iklim di Indonesia. 

Hal yang pertama adalah yang terkait dengan upaya melakukan pelaporan aksi-aksi iklim di tingkat daerah. Saat ini, pemerintah daerah diharapkan untuk melakukan pelaporan dengan menggunakan Aksara (Aplikasi Perencanaan-Pemantauan Aksi Rendah Karbon Nasional)  maupun SIGN-Smart (Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional). Kendala dalam melakukan pelaporan SIGN-Smart adalah upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ternyata belum terintegrasi sampai ke kabupaten/kota. Pengumpulan data secara manual memerlukan sumber daya yang cukup besar, dikarenakan perlu untuk mendatangi masing-masing kabupaten/kota. Pada saat yang bersamaan, upaya ini tidak disertai dengan pendanaan dari pusat ke daerah dengan besaran yang sepadan. 

Isu lain yang juga muncul di dalam diskusi dan menjadi hal yang penting adalah penggunaan data-data iklim yang ada di dalam perencanaan pembangunan, misalnya yang terkait dengan peningkatan suhu. Peningkatan suhu memiliki korelasi dengan konsentrasi GRK di atmosfer. Besaran yang diukur oleh BMKG adalah konsentrasi GRK, sedangkan yang sering dibicarakan adalah yang terkait emisi GRK yang dihasilkan dari aktivitas tertentu. Namun, seringkali perencanaan yang dilakukan hanya berfokus pada emisi yang dihasilkan saja dan tidak memperhatikan konsentrasi GRK, yang memiliki kecenderungan meningkat.

Isu terkait kewenangan pemerintah daerah yang saat ini berlaku, juga muncul di dalam diskusi. Saat ini, daerah hanya memiliki fungsi pengawasan saja, sedangkan untuk beberapa hal lain, kewenangan tersebut ditarik ke pusat, seperti kewenangan di sektor energi. Itu sebabnya, pemerintah daerah memiliki keterbatasan dalam melakukan upaya iklim, karena di beberapa sektor, upaya-upaya tersebut tidak berada di dalam kewenangan pemerintah daerah.

Bagikan :