Urgensi Mewujudkan Transisi Energi Berkeadilan pada Pemerintahan Prabowo – Gibran

(Dokumentasi: IRID, 2024)

Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) dan beberapa lembaga think-tank lain, seperti Institute for Essential Services Reform (IESR), Climateworks Centre, Centre for Policy Development (CPD), International Institute for Sustainable Development (IISD), dan Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) yang tergabung dalam Energy Transition Development Policy Forum (ETP Forum) menggelar konferensi pers pada 24 Oktober 2024 lalu. Mengangkat tema “Memimpin Perubahan: Transisi Energi dan Emisi Nol Bersih dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran 2025-2029,” ETP Forum membahas bagaimana Indonesia dapat meningkatkan ketahanan energi, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), dan mencapai pertumbuhan ekonomi hijau pada saat yang bersamaan.

Setelah dilantik 20 Oktober 2024 lalu, pada pidato inaugurasinya di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, Prabowo menekankan salah satu isu prioritas pemerintahannya yaitu mewujudkan ketahanan energi. Namun, jika berkaca pada capaian pengembangan energi terbarukan dalam lima tahun terakhir, pemerintahan Prabowo – Gibran ke depannya akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah tantangan untuk mewujudkan target energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Oleh karenanya, dibutuhkan komitmen kuat di tengah keterbatasan investasi dan lambatnya pengembangan energi bersih di Indonesia guna melakukan percepatan transisi energi berkeadilan dan pencapaian target Net Zero Emission (NZE) Indonesia.

Di masa pemerintahan Jokowi, Indonesia mendapat beberapa peluang percepatan transisi energi melalui penetapan target NZE 2060 atau lebih cepat, di antaranya melalui: komitmen pengurangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang tertuang dalam beberapa dokumen, seperti RUPTL 2021-2030 dan Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik; serta beragam kesepakatan internasional untuk mendorong pembangunan rendah emisi GRK, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Belt Road Initiative (BRI). Pemerintahan Prabowo-Gibran dapat memanfaatkan peluang tersebut untuk memperkuat kebijakan energi terbarukan dan meningkatkan daya tarik investasi.

(Dokumentasi: IRID, 2024)

ETP Forum memberikan sembilan butir rekomendasi dalam empat klaster utama yang dapat diadopsi oleh Pemerintah Prabowo-Gibran. Keempat klaster isu yang ditekankan dalam rekomendasi tersebut adalah:

  1. Reformasi subsidi energi dan peningkatan akses energi terbarukan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar);
  2. Tata kelola dan regulasi untuk transisi energi;
  3. Komitmen jangka panjang dan investasi teknologi untuk emisi nol bersih;
  4. Standar lingkungan dan dampak sosial dalam transisi energi.

Terkait reformasi subsidi, ETP Forum menekankan pentingnya mengalihkan subsidi energi berbasis komoditas menjadi direct-targeted subsidy, sehingga subsidi lebih tepat sasaran bagi masyarakat yang membutuhkan. Lebih lanjut, perluasan akses terhadap energi bersih yang andal dapat dilakukan dengan pengembangan jaringan mikro, mini, dan off-grid berbasis komunitas.

Perbaikan tata kelola dan regulasi untuk mencapai transisi energi berkeadilan juga perlu dilakukan. Salah satunya dengan memisahkan regulator dan operator bisnis, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat adopsi energi bersih melalui mekanisme yang lebih transparan. Selain itu, pengembangan kelembagaan serta tata kelola Nilai Ekonomi Karbon (NEK) perlu menjadi perhatian Pemerintah, khususnya dalam upaya perluasan implementasi NEK di luar sektor energi, seperti sektor industri dan subsektor transportasi.

Terkait komitmen jangka panjang dan investasi teknologi, Indonesia perlu menegaskan komitmen dan posisinya dalam berkontribusi pada target dan tujuan iklim global, seperti dalam merespons hasil Global Stocktake pertama. Pemerintah juga perlu memastikan adanya komitmen yang tegas untuk mencapai target NZE Indonesia, terutama terkait dengan percepatan penghentian operasional PLTU dan pengembangan carbon sink[1] sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi nasional.

Hal penting lain yang harus menjadi perhatian Pemerintah adalah aspek “just” dalam transisi energi. Rencana pemanfaatan industri ekstraktif dan hilirisasi mineral kritis untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, harus memenuhi standar lingkungan dan partisipasi publik. Lebih lanjut, strategi transisi energi harus mempertimbangkan aspek-aspek dari lensa sosial seperti, human capitalGender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI), serta mitigasi potensi dampak negatif bagi masyarakat lokal.


[1] Carbon sink, dalam konteks perubahan iklim adalah entitas alami atau bauta yang dapat menyerap dan menyimpan carbon dioxide dari atmosfer, sehingga dapat mengurangi efek pemanasan global. 

Bagikan :