Hasil dari Global Stocktake (GST) pertama yang berlangsung pada CMA5 tahun 2023 menekankan pentingnya membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi agar tidak melebihi 1,5oC, melalui upaya menggandakan rata-rata tingkat kemajuan efisiensi energi tahunan global. International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa rata-rata tingkat kemajuan efisiensi energi global saat ini adalah 2%, maka dari itu hingga tahun 2030, target rata-rata tingkat efisiensi energi tahunan global perlu ditingkatkan sampai 4%.
Pada periode tahun 2010-2022, hampir seluruh negara pernah mencapai tingkat kemajuan efisiensi energi tahunan hingga 4% atau lebih, setidaknya satu kali. Namun, belum ada negara yang dapat mencapai target tersebut secara konsisten dalam satu dekade; tidak terkecuali Indonesia yang hanya mencapainya tiga kali. Rata-rata capaian peningkatan efisiensi energi Indonesia masih pada angka 2-3%. Hal ini menandakan bahwa upaya efisiensi energi Indonesia perlu ditingkatkan guna memastikan aksi iklimnya dapat selaras dengan tujuan Persetujuan Paris. Itu sebabnya, efisiensi energi seharusnya menjadi aksi iklim yang penting dalam pengkinian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Terkait dengan isu tersebut, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) telah mengadakan diskusi pada tanggal 11 September 2024 di Hotel Pullman, Thamrin, terkait penerapan efisiensi energi di Indonesia, guna melihat peluang dan peran Indonesia untuk berkontribusi pada pencapaian target rata-rata tingkat kemajuan efisiensi energi tahunan global, sebesar 4% pada tahun 2030.
Kebijakan dan Implementasi Efisiensi Energi di Indonesia
Meskipun dianggap sebagai low-hanging fruit karena mudah dan murah dilakukan, alokasi aliran pendanaan untuk aksi mitigasi sektor energi yang berfokus pada efisiensi energi di Indonesia masih sangat minim, yaitu kurang dari 3% dari 84 proyek mitigasi sektor energi pada tahun 2020-2024 (IRID, 2024). Hal ini memunculkan pertanyaan terkait biaya dan minat investor dalam mendukung efisiensi energi.
Dalam Enhanced NDC Indonesia, efisiensi energi menjadi salah satu aksi dalam komponen mitigasi dan pada draf Second NDC versi Agustus 2024, efisiensi energi telah diarusutamakan ke dalam berbagai strategi subsektoral. Upaya untuk meningkatkan efisiensi energi sebagai bagian dari upaya mencapai Net Zero Emissions (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat, juga telah diadopsi oleh Indonesia. Upaya-upaya efisiensi energi yang direncanakan untuk dilakukan oleh Indonesia meliputi penerapan manajemen energi, penerapan standar kerja energi minimum (SKEM), penerangan jalan umum hemat energi, dan pelabelan perangkat hemat energi. Selain itu, upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melalui insentif non-fiskal seperti label hemat energi pada perangkat rumah tangga, misalnya pada air conditioner (AC), lampu, dan penanak nasi juga telah dilakukan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) bekerja sama dengan kementerian lain, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk efisiensi energi pada bangunan, dan Kementerian Perindustrian untuk industri, guna memperkuat regulasi dan implementasi di lapangan. Di sektor industri, Kementerian Perindustrian telah menyusun berbagai kebijakan, termasuk Peta Jalan Dekarbonisasi untuk 9 subsektor industri prioritas, Peta Jalan Perdagangan Karbon, serta Standar Industri Hijau (SIH). Sebanyak 133 sertifikat SIH telah diterbitkan dan lebih dari 1.000 sertifikat SIH ditargetkan akan terbit di tahun depan. Pemerintah juga telah mewajibkan pelaksanaan manajemen energi pada industri dengan konsumsi energi di atas 4.000 Ton Oil Equivalent (TOE).
Tantangan dalam Peningkatan Efisiensi Energi dan Peluang Peran Multi-Pihak di Indonesia
Implementasi efisiensi energi di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan, berupa tantangan regulasi, produsen, serta konsumen. Dari sisi regulasi, kebijakan yang masih terfragmentasi perlu penyelarasan antara sektor energi, subsektor energi (transportasi, pembangkit listrik, minyak dan gas, dan lain-lain), serta sektor keuangan. Di sisi produsen, industri memiliki ketertarikan dan kemampuan untuk memproduksi teknologi yang hemat energi. Namun, hal ini belum didukung oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan teknologi hemat energi, sehingga menghambat adopsi teknologi tersebut.
Tantangan lain mencakup biaya yang tinggi untuk pelaporan dan audit energi, termasuk biaya sertifikasi dan jasa auditor, yang membuat banyak pelaku usaha enggan berpartisipasi. Pemetaan teknologi efisiensi energi yang sesuai untuk setiap jenis industri sering kali sulit dilakukan karena pendanaan yang terbatas. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dengan keahlian teknis di bidang manajemen energi menjadi hambatan besar, terutama karena kemampuan tersebut lebih banyak dimiliki oleh penyedia teknologi. Ekosistem Energy Service Company (ESCO)[1] di Indonesia juga belum optimal akibat regulasi yang kurang mendukung, sehingga perlu adanya kebijakan yang lebih terintegrasi untuk mendorong ekosistem ini berjalan secara efektif.
Implementasi efisiensi energi di Indonesia membutuhkan peran multi-pihak untuk mencapai keberhasilan yang optimal. Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dengan intervensi kebijakan yang tepat, seperti mendorong permintaan dan membangun ekosistem efisiensi energi, memastikan proyek-proyek efisiensi energi menjadi bankable, serta menyediakan insentif atau skema pendanaan yang memadai. Selain itu, sektor perbankan juga memegang peran penting dengan menyediakan pendanaan bagi pembangunan gedung dan infrastruktur efisiensi energi, sehingga mendukung realisasi proyek-proyek yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi ekonomi serta lingkungan.
[1] ESCO merupakan perusahaan penyedia layanan yang membantu dalam meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi konsumsi energi, mulai dari audit energi hingga implementasi teknologi hemat energi. Contoh ESCO di Indonesia adalah PT Energy Management Indonesia (EMI).
Bagikan :