Indonesia meratifikasi Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016, dengan menyertakan komitmen untuk melakukan aksi iklim berupa pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan peningkatan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim yang dikemas dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Sebagai implikasinya, Indonesia diharapkan akan melakukan aksi-aksi iklim tersebut yang tentunya seharusnya melibatkan aktor-aktor di daerah. Hal ini menandai pentingnya kesiapan daerah untuk dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam melakukan aksi-aksi iklim guna mencapai target tersebut.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerjasama dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Yayasan Pikul, dan Walhi Sulawesi Tengah, berupaya untuk memetakan bagaimana aksi iklim dapat dilakukan di Sulawesi Tengah dengan melibatkan berbagai jenis aktor dimana kelompok masyarakat sipil merupakan salah satu diantaranya. Itu sebabnya, pada tanggal 7 Oktober 2024 yang lalu bertempat di Hotel Aston Kupang, sebuah diskusi mengenai menyelaraskan aksi iklim daerah dengan target iklim Indonesia, dilaksanakan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan gambaran terkait dengan isu perubahan iklim di Sulawesi Tengah, sesuai dengan pandangan kelompok masyarakat sipil.
Mengapa Sulawesi Tengah?
Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam dan pada saat yang bersamaan juga rentan terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa dampak bencana yang dapat terjadi karena perubahan iklim adalah: meningkatnya frekuensi banjir dan tanah longsor (akibat peningkatan frekuensi dan intensitas hujan), kekeringan yang diakibatkan oleh kemarau yang berkepanjangan, serta gelombang pasang akibat cuaca buruk.
Pada saat yang bersamaan, provinsi Sulawesi Tengah menjadi salah satu pusat industri nikel di Indonesia. Adapun nikel merupakan salah satu bahan baku baterai, yang dibutuhkan oleh kendaraan listrik. Saat dunia berbondong-bondong untuk melakukan transisi ke kendaraan listrik, maka permintaan akan nikel diprediksi meningkat. Hal ini menjadikan Sulawesi Tengah sebagai provinsi yang akan mengalami dampak perubahan iklim baik dari sisi penerapan kebijakan dekarbonisasi Indonesia maupun dampak perubahan iklim secara fisik akibat berubahnya variabel iklim.
Isu perubahan iklim yang teridentifikasi
Melalui diskusi kelompok masyarakat sipil pada tanggal 7 Oktober 2024 yang lalu, terdapat 2 (dua) jenis dampak perubahan iklim yang terjadi di Sulawesi Tengah: (i) dampak akibat penerapan kebijakan dekarbonisasi Indonesia; dan (ii) dampak akibat perubahan variabel iklim.
Dampak akibat kebijakan dekarbonisasi di Indonesia
Dampak dari penerapan kebijakan dekarbonisasi Indonesia misalnya yang terkait dengan pengembangan industri nikel. Harapannya nikel yang dihasilkan akan dapat mengembangkan industri baterai di Indonesia, selain sebagai komponen yang digunakan dalam keseharian manusia. Walau demikian, pertumbuhan industri nikel ini ternyata berdampak pada aspek lingkungan yang lebih luas. Isu-isu seperti kelangkaan air bersih, penumpukan sampah yang tidak terkelola dengan baik, terjadinya banjir dan longsor, hilang atau rusaknya biota laut, serta limbah pertambangan, telah memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Tidak tertanganinya masalah ini dengan baik, memunculkan persinggungan dengan aspek ekonomi, yaitu penghidupan bagi masyarakat yang terdampak.
Contoh yang terjadi di Sulawesi Tengah adalah kerusakan lingkungan yang terjadi, menyebabkan berkurangnya populasi kerang Meti – sejenis kerang Sungai – yang biasanya dikumpulkan oleh para perempuan di wilayah setempat. Kerang Meti ini dapat menjadi salah satu bentuk mata pencaharian masyarakat setempat, namun kemudian hilang terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar industri tambang. Sayangnya, ketika mata pencaharian ini hilang, masyarakat setempat tidak lagi memiliki alternatif mata pencaharian lain, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah penggunaan pembangkit listrik berbasis batubara di wilayah industri nikel yang ada. Pembangkit tersebut menghasilkan bukan hanya emisi GRK tapi juga polusi udara yang berperan besar pada kesehatan masyarakat sekitar.
Dampak akibat perubahan variabel iklim
Dampak akibat perubahan variabel iklim juga dirasakan masyarakat Sulawesi Tengah, seperti sulitnya memprediksi musim kemarau dan penghujan, yang mempengaruhi hasil panen serta harga jual komoditas yang semakin mahal. Selain itu, kekeringan juga seringkali menyebabkan gagal panen, sehingga banyak petani yang kemudian memutuskan untuk menjadi buruh di tempat lain, seperti migrasi ke kota.
Perubahan iklim juga mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari produksi pertanian, seperti yang terjadi pada komoditas karet. Ketidakpastian cuaca menyebabkan produksi karet menjadi tidak terprediksi dan mempengaruhi harga jualnya.
Bagi para nelayan, perubahan iklim menyebabkan area penangkapan ikan mereka menjadi semakin jauh, sehingga sulit bagi mereka untuk menangkap ikan. Apabila tidak ada tangkapan ikan, maka pekerjaan untuk menjemur dan menjual ikan juga berkurang, sehingga berdampak bagi pemasukan masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Intervensi yang dapat membantu meminimalkan dampak perubahan iklim di Sulawesi Tengah
Beberapa hal yang dipandang dapat membantu Sulawesi Tengah dalam merespon dampak perubahan iklim, baik dampak kebijakan maupun dampak fisik, adalah sebagai berikut:
- Penggunaan energi terbarukan di dalam kawasan industri, misalnya melalui solar panel, sehingga meminimalkan buangan limbah terutama dari penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit sendiri (captive);
- Perlunya peningkatan pemahaman masyarakat terkait dengan kebijakan dan regulasi yang berlaku;
- Penerapan AMDAL yang sesuai dengan tujuan awalnya, sehingga penanganan limbah di sekitar kawasan industri menjadi lebih terkendali.
Bagikan :