Mendorong Dekarbonisasi Sektor Industri di Indonesia melalui Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi

Di tingkat global, sektor industri menyumbang sekitar 37% penggunaan energi global dan 25% dari total emisi karbon dioksida (CO2) pada sektor energi[1]. Sekitar 30% dari emisi global berasal dari pembakaran bahan bakar dan proses industri, yakni sebesar 51 gigaton CO2e[2]. Menurut Asian Development Bank, di tahun 2022 lebih dari 50% emisi global berasal dari Asia Pasifik dengan industri penyumbang terbesar adalah industri semen, besi, dan baja. Di Asia Tenggara sendiri, sektor industri menyumbang sebesar 25% dari total emisi. Kementerian Perindustrian melaporkan emisi sektor industri di Indonesia mencapai 238,1 juta ton CO2e pada tahun 2022 dengan kontribusi sebesar 8-20% dari total emisi Indonesia dalam kurun tahun 2015-2022.

Tingginya emisi dari sektor industri memerlukan upaya dekarbonisasi yang tepat. Terlebih, sektor industri juga masuk ke dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia dengan tujuan untuk mengembangkan industri yang lebih hijau melalui aksi mitigasi untuk Industrial Processes and Product Use (IPPU). Meskipun upaya transisi energi secara keseluruhan telah terjadi perkembangan, namun dekarbonisasi dari sektor industri masih terbilang rendah. Di sisi lain, upaya dekarbonisasi sektor industri di Indonesia telah didorong melalui bantuan dari lembaga-lembaga internasional, seperti Korean Development Bank bersama dengan Korea Energy Agency, terkait mekanisme inovatif untuk efisiensi energi di sektor industri[3]. Melihat pentingnya peranan industri dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) – terutama melalui program hilirisasi industri yang sedang digencarkan oleh Pemerintah Indonesia – penguatan upaya dekarbonisasi diperlukan dalam mendukung perkembangan sektor industri di Indonesia.

Penggunaan Energi Terbarukan dan Penerapan Efisiensi Energi pada Sektor Industri di Indonesia

Penguatan upaya dekarbonisasi sektor industri di Indonesia perlu memperhatikan penggunaan energi terbarukan dan upaya efisiensi energi yang diterapkan. Berdasarkan dokumen ENDC Indonesia, target pengurangan emisi GRK dari energi terbarukan sebesar 181,45 juta ton CO2 atau sebesar 51% dari total penurunan emisi di sektor energi pada tahun 2030, yaitu sejumlah 358 juta ton CO2. Beberapa potensi energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mendukung dekarbonisasi sektor industri Indonesia adalah dengan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, rencana pengembangan pembangkit EBT hingga tahun 2030 akan mencapai 20.923 MW.

Selaras dengan pengembangan pembangkit listrik EBT, efisiensi energi juga menjadi salah satu pilar dari dekarbonisasi sektor industri. Lebih dari 80% emisi industri berasal dari rantai pasok (supply chain) dan menggunakan proses termal atau teknologi panas dengan tingkat menengah hingga tinggi, contohnya adalah penggunaan energi termal dan heat pump dalam pemrosesan kimia. Sementara itu, sebanyak 55% industri di Indonesia yang menggunakan panas belum mengimplementasikan teknologi panas yang bersih[4]. Di Indonesia sendiri, emisi dari proses pemanasan di industri semen serta besi dan baja berkontribusi sekitar 54% dan 56,8% dari total emisi[5]. Dalam dokumen ENDC Indonesia tertera target pengurangan emisi GRK dari upaya efisiensi energi sebesar 132,25 juta ton CO2 atau sebesar 37% dari total upaya penurunan emisi di sektor energi pada tahun 2030. Meningkatkan efisiensi dari penggunaan energi bertujuan untuk mengurangi emisi dan konsumsi energi keseluruhan, dan merupakan salah satu upaya dekarbonisasi di sektor industri. Oleh karena itu penggunaan pemanas dari sumber yang bersih dapat diterapkan guna mendorong upaya dekarbonisasi di sektor industri.

Faktor Pendukung Lainnya dalam Upaya Dekarbonisasi Sektor Industri di Indonesia

Terdapat tiga aspek yang setidaknya dapat digunakan untuk mendorong dekarbonisasi sektor industri mulai dari perencanaan hingga implementasi. Aspek-aspek tersebut meliputi kesiapan infrastruktur dan teknologi bersamaan dengan peningkatan kualitas energi atau green electrification; pendanaan dan investasi melalui blended finance; serta tata kelola dan kebijakan pemerintah terkait standar nasional untuk produk rendah karbon hingga pelibatan platform Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) untuk pengurangan emisi. Strategi tersebut diharapkan  dapat mendukung Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2023 terkait potensi penghematan sektor industri yang diestimasikan dapat menghemat energi sebesar 5,28 juta Ton of Oil equivalent (TOE) dan menghemat biaya sebesar 20,8 triliun rupiah pada tahun 2030. 


[1] Asian Development Bank. (2024). Financing New and Innovative Clean Energy Solutions in Hard-to-Abate Sectors. Presented at Asia Clean Energy Forum (ACEF) 2024.

[2] Idam Infrastructure Advisory Pvt. Ltd. (2024). Dissemination of Knowledge on Decarbonisation and Energy Efficiency Technologies through the IDEEKSHA Portal. Presented at Asia Clean Energy Forum (ACEF) 2024.

[3] Pada 34th Meeting of the GCF Board (B.34), telah disetujui proposal pendanaan untuk proyek “Supporting Innovative Mechanisms for Industrial Energy Efficiency Financing in Indonesia with Lessons for Replication in other ASEAN Member States”. Accredited Entity dalam proyek ini adalah Korean Development Bank dengan Korea Energy Agency sebagai Implementing Entity, serta PT. IIF, PT. SMI, PT. KEB Hana Indonesia, PT. Bank IBK Indonesia, KB Bukopin, PT. Bank Woori Saudara Indonesia, dan ASEAN Centre for Energy sebagai Executing Entity.

[4] WRI Indonesia. (2024). Energy Efficiency and Renewable Energy in the Industrial Sector. Presented at Asia Clean Energy Forum (ACEF) 2024.

[5] Ibid.


Bagikan :