Conference of the Parties ke-28 (COP28) yang berlangsung di Dubai pada 30 November – 12 Desember 2023 lalu menghasilkan kesepakatan terkait energi yang ambisius. Kesepakatan ini ditetapkan setelah para Pihak melakukan penelusuran terhadap aksi-aksi iklim yang sudah dilakukan termasuk upaya untuk membatasi kenaikan suhu global rata-rata agar tidak melebihi 1,50 C. Beberapa hal yang disepakati dalam COP28 terkait energi mencakup implementasi tripling renewable energy secara global dan penggandaan upaya-upaya efisiensi energi di tahun 2030. Selain itu, upaya percepatan phase-down pembangkit listrik batu bara, transisi berkeadilan dari bahan bakar fosil guna mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2050, serta beralih dari subsidi bahan bakar fosil juga menjadi beberapa kesepakatan yang dihasilkan dari COP28 terkait energi. Sebagai salah satu negara yang masih bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil, Indonesia tentu akan ikut terdampak. Pada saat yang bersamaan, hal ini juga membuka peluang bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) mengadakan diskusi mengenai hasil COP28 dan dampaknya pada sektor energi di Indonesia, pada hari Kamis, 18 Januari 2024 di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta. Diskusi ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kesiapan Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi dalam rangka melakukan transisi energi menuju 2030.
Subsidi Bahan Bakar Fosil dalam Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia
Subsidi bahan bakar fosil (fossil fuel subsidy) menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan namun memberikan dampak yang besar pada upaya transisi energi di Indonesia terutama dari sisi pengembangan energi terbarukan. Apabila permasalahan subsidi bahan bakar fosil ini dapat diatasi, maka sekitar 40% dari permasalahan emisi dapat terselesaikan (CPD, 2024). Subsidi elpiji di Indonesia misalnya, sebagian besar masih dinikmati kelompok ekonomi menengah ke atas. Sedangkan kelompok ekonomi menengah ke bawah dan rentan hanya menikmati sekitar 32% subsidi bahan bakar fosil, dan mayoritas kelompok tersebut masih bergantung pada penggunaan kayu bakar (CPD, 2024). Tidak efektifnya skema subsidi ini muncul akibat adanya disparitas harga elpiji yang menghambat percepatan transisi energi.
Penerapan kebijakan Subsidi Listrik Tepat Sasaran (SLTS) di tahun 2017 juga dianggap belum bisa memperbaiki aspek “keadilan” karena persentase kelompok mampu yang menikmati subsidi listrik masih melebihi dari 50%. Sedangkan kelompok rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah hanya menikmati 26% dari keseluruhan alokasi dana subsidi (CPD, 2024). Hal ini muncul akibat adanya keterbatasan akses pada energi listrik bagi para kelompok rentan dan kurang mampu. Subsidi bersasaran langsung diperlukan guna memberikan dampak pada pengurangan kemiskinan dan ketimpangan, serta memberikan akses bagi masyarakat pada energi secara mudah, serta dapat mendorong percepatan transisi energi di Indonesia.
Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Indonesia mengkomunikasikan kenaikan target penurunan emisi gas rumah kaca melalui Nationally Determined Contribution (NDC) di sektor energi dari sebesar 314 Juta ton CO2e (sesuai Updated NDC) menjadi 358 Juta ton CO2e (Enhanced NDC). Aksi mitigasi sektor energi di tahun 2023 diantaranya mencakup implementasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT), aplikasi efisiensi energi, penerapan bahan bakar rendah karbon (seperti gas alam), serta penggunaan teknologi pembangkit bersih. Biaya investasi untuk pembangunan pembangkit listrik EBT secara global juga mengalami penurunan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), sehingga seharusnya dapat bersaing dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
Untuk mencapai target tersebut, Indonesia perlu melakukan modernisasi jaringan listrik yang terintegrasi secara nasional. Hal ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan sumber daya energi terbarukan yang tersebar di seluruh wilayah. Itu sebabnya, perlu pembangunan infrastruktur transmisi dalam negeri yang kuat dan dapat diandalkan, apalagi mengingat 70% sumber daya EBT Indonesia berada di luar grid JAMALI (Jawa Madura Bali).
Upaya percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia juga sedang dilakukan dengan pemanfaatan langsung panas bumi yang sebagian besarnya digunakan di sektor agrikultur. Efisiensi konversi energi panas bumi yang mencapai 80%-90% juga menjadi potensi yang baik untuk dimanfaatkan langsung.
Kesiapan ASEAN dalam Melakukan Transisi Energi
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) saat ini juga berfokus untuk mengembangkan energi terbarukan dengan target 23% dalam bauran energi di Total Primary Energy Supply (TPES) dan 35% di power sector pada tahun 2025 (APAEC, 2024). Sedangkan target ASEAN terkait dengan energy efficiency di tingkat regional adalah untuk mengurangi intensitas energi hingga 32% pada tahun 2025.
Untuk mendukung percepatan transisi energi di tingkat ASEAN, ASEAN Power Grid (APG) menjadi upaya ASEAN untuk mencapai integrasi dan interkoneksi ekonomi dan energi di antara negara-negara anggotanya. Contoh dari APG yang sukses adalah koneksi LTMS, yaitu Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Selain itu, terdapat beberapa perkembangan di luar proyek LTMS, seperti BIMP (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina) yang memiliki target untuk melakukan jual beli listrik antar negara pada tahun 2025.
Walau demikian, transisi energi di ASEAN masih memiliki kendala dalam segi keterbatasan teknologi, kurangnya pendanaan, serta investasi.
Bagikan :