Pentingnya Ketahanan Iklim dalam Sektor Energi di Asia Tenggara

Dampak dari perubahan iklim semakin terlihat di berbagai negara di Asia, khususnya Asia Tenggara, dengan meningkatnya suhu panas ekstrem, kekeringan, hujan lebat, dan naiknya permukaan air laut. Dampak perubahan iklim tersebut telah mempengaruhi keamanan energi, infrastruktur, serta performa sistem energi yang sudah dan yang sedang dibangun. Infrastruktur energi mendatang akan beroperasi dengan kondisi iklim yang berbeda dari hari ini dan pembangkit listrik dengan energi terbarukan ke depannya juga diprediksi menjadi tidak efisien (IEA, 2024). Mengingat dampak perubahan iklim terhadap sistem energi akan terus meningkat, maka membangun serta memperkuat ketahanan iklim dalam sektor energi menjadi tak kalah penting guna menjaga keamanan energi di masa depan. 

Dampak Perubahan iklim di Asia Tenggara

Dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (2023), terdapat tiga bencana iklim yang menjadi masalah utama di Asia Tenggara, yaitu gelombang panas (heatwaves), badai siklondan intensitas curah hujan tinggiAsia Tenggara diprediksi akan mengalami kenaikan suhu mencapai lebih dari 35oC dengan periode gelombang panas dua kali lebih lama dari periode pra-industri. Hal ini telah terjadi di Thailand pada tahun 2023 yang suhu terpanasnya mencapai rekor tertinggi, yaitu 44,2oC. Asia Tenggara menjadi wilayah yang paling rentan terekspos badai siklon, dengan Vietnam, Myanmar, dan Filipina sebagai negara dengan risiko badai siklon tertinggi. Meskipun frekuensi kemunculan badai siklon di wilayah tersebut berkurang, namun intensitas badai siklon tetap meningkat setiap tahunnya (IPCC, 2023). Badai siklon sendiri terjadi disebabkan oleh adanya kenaikan temperatur laut, sehingga mengakibatkan peningkatan kelembaban udara yang berdampak pada naiknya intensitas siklon.

Selain itu, intensitas curah hujan yang tinggi berdampak pada munculnya bencana banjir, seperti yang terjadi di Indonesia dan Kamboja. Pada tahun 2023, banjir tercatat menjadi bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia dengan 852 kejadian selama periode 1 Januari hingga 1 September 2023 (BNPB, 2023). Hal ini disebabkan oleh kenaikan suhu yang meningkatkan evaporasi[1], sehingga berakibat pada semakin tingginya frekuensi dan intensitas curah hujan serta meningkatnya risiko banjir. Di sisi lain, potensi kenaikan permukaan air laut setinggi 0,5-0,7-meter akan mengancam keberadaan daerah-daerah pesisir di Asia Tenggara, yang juga menjadi lokasi mata pencaharian utama. Lebih dari 39% populasi yang tinggal di daerah pesisir menjadi rawan terdampak[2](ASCCR, 2021). Jika tidak ditangani tepat waktu, fenomena kenaikan permukaan laut ini akan membahayakan lebih dari 50% populasi di Thailand, 25% populasi di Filipina, dan 20% populasi di Indonesia (IEA, 2024).

Kerusakan pada Sektor Energi Terbarukan di Asia Tenggara akibat Bencana Iklim

Tingginya intensitas dan frekuensi bencana akibat perubahan iklim yang terjadi di Asia Tenggara, tidak hanya berdampak pada keberlangsungan kehidupan masyarakat, namun juga berdampak pada sektor energi. Dalam mendukung transisi energi, pembangkit listrik dari energi terbarukan perlu mendapatkan perhatian yang lebih karena berkaitan erat dengan perubahan iklim, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Gelombang panas dengan suhu yang sangat tinggi juga akanmenghasilkan dampak yang buruk pada PLTS. Suhu dan cuaca yang lebih tinggi dari 30°C dapat merusak atau menurunkan umur PLTS yang seharusnya beroperasi optimal dalam kondisi sejuk dan cerah. Meskipun kebanyakan PLTS di Asia Tenggara berlokasi di tempat dengan cuaca dan suhu yang ideal (25°C-30°C), PLTS tersebut masih berpotensi terpapar gelombang panas ekstrem dalam beberapa dekade mendatang (IEA, 2024).

Ketersediaan air sebagai penggerak pembangkit listrik, seperti mikrohidro, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), juga berpotensi terdampak perubahan iklim, khususnya pada siklus hidrologi. Adanya perubahan pola curah hujan ekstrem dan musim kemarau yang berkepanjangan akibat perubahan iklim memengaruhi ketersediaan air dan produksi untuk jenis PLTA yang menggunakan run-of-river dan waduk (IEA, 2024). Bencana banjir akibat hujan lebat berkepanjangan serta tanah longsor juga berpotensi merusak perangkat fisik pembangkit listrik yang digerakkan air, seperti yang terjadi di Vietnam dan Kamboja. Pada Juni 2023, terjadi penurunan tingkat air di bendungan PLTA yang diperparah dengan tingginya permintaan listrik akibat cuaca panas yang ekstrem. Hal ini mengakibatkan gangguan pasokan listrik di daerah aliran sungai Mekong yang berujung pada pemadaman listrik selama 26 jam di Vietnam. Sementara itu, di Kamboja pada tahun 2019 terjadi kasus kekurangan aliran listrik nasional yang sebagian besar diakibatkan oleh kekeringan panjang, sehingga berakibat pada rendahnya level air di waduk.

Solusi dan Praktik Baik di Asia Tenggara

Negara yang memiliki ketergantungan tinggi pada sumber energi terbarukan atau tidak terbarukan tertentu, akan memiliki kerentanan yang tinggi pula terhadap iklim. Dalam mengatasi kerentanan iklim di sektor energi, energy mix dapat menjadi salah satu solusi. Distrik Rangmati Hill di Bangladesh merupakan contoh praktik baik dalam mengatasi isu ini. Distrik tersebut berhasil memperbaiki ketahanannya melalui keragaman energi terbarukan pada sektor energi mereka, seperti memasang solar-powered tube well yang digunakan untuk memompa, menyimpan, dan mendistribusikan air ke rumah-rumah pada saat kekeringan melanda (IEA,2024). 

Di sisi lain, pendanaan jangka panjang dan terprogram juga menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas investasi dalam menghadapi perubahan iklim di sektor energi. Dalam hal ini, incentive investment [3] dapat mendorong partisipasi sektor swasta, yang dapat mempercepat pengembangan proyek-proyek hijau. Peningkatan skala resilient investment[4] juga diperlukan untuk mengatasi risiko yang muncul akibat perubahan iklim (IEA, 2024). Terlebih lagi, menyertakan agenda investasi di sektor energi dalam National Adaptation Plans (NAPs) dapat menjadi contoh bagaimana integrasi kebijakan energi dapat memperkuat ketahanan iklim dan mendorong pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional. Sebagai contoh,  Kiribati yang memasukkan energy sector investments dalam perencanaan dan aksinya, sehingga dapat mendukung transisi ke energi terbarukan.


[1] Evaporasi merupakan proses penguapan air dari permukaan bumi menjadi uap air atau gas.

[2] https://asean.org/wp-content/uploads/2021/10/ASCCR-e-publication-Correction_8-June.pdf

[3] Skema pendanaan yang biasanya digunakan oleh Pemerintah berupa pemberian insentif guna menarik investasi untuk program-program yang berhubungan dengan energi dan perubahan iklim.

[4] Skema pendanaan yang ditujukan untuk mengurangi dampak risiko dari bencana dan perubahan iklim serta membantu pembentukan masa depan yang berkelanjutan.

Bagikan :