Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terkait dengan pencegahan kenaikan temperatur rata-rata global agar tidak melebihi 1,5oC1 menyatakan pentingnya melakukan transisi iklim di tingkat global. Artinya adalah penting bagi negara-negara di dunia ini untuk mempersiapkan diri dalam menerapkan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Laporan tersebut juga menyatakan, pentingnya melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca, di mana transisi di sistem kelistrikan menjadi sangat penting.
Dalam rangka membantu negara-negara berkembang untuk melakukan transisi energi berkeadilan, beberapa inisiatif pendanaan seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM), kemudian muncul. Inisiatif ini bukan hanya ditujukan untuk membantu negara-negara berkembang dalam memensiunkan lebih awal pembangkit listrik berbasis fosil, namun seharusnya juga memungkinkan negara-negara berkembang untuk mengembangkan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan guna memenuhi permintaan listrik dari masing-masing negara. Sebelum inisiatif tersebut muncul, Indonesia juga telah mempersiapkan diri untuk melakukan transisi energi, sebagaimana yang disebutkan di dalam peta jalan untuk mencapai net zero di sektor energi yang disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).
Hal yang paling menarik di dalam upaya-upaya transisi energi berkeadilan adalah bagaimana mengoperasionalisasikan istilah ‘berkeadilan’ di dalam upaya transisi energi yang tengah dan/atau telah direncanakan. Hingga kini, cakupan dari istilah ‘berkeadilan’ di dalam transisi energi berkeadilan masih beragam, serta masih memiliki tantangan terkait bagaimana memastikan transisi energi yang dilakukan, berkeadilan.
IRID telah melakukan analisis terkait dengan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam transisi energi berkeadilan, berdasarkan konstitusi Indonesia2. Setidaknya terdapat beberapa hal yang harus dipastikan di dalam melakukan upaya transisi energi berkeadilan, di antaranya adalah:
